30 Juli 2010

Rencana SBY Memindahkan Ibukota Indonesia


SBY tengah memikirkan lokasi baru pusat pemerintahan. Kalau seperti Malaysia itu tanggung dan tidak sepenuh hati. Cuma 40 km. Sehingga sebagian tidak pindah rumah dan akhirnya jadi jauh dan macet.
Harusnya seperti Brazil yang memindahkan
ibukotanya begitu jauh dari Rio de Janeiro ke Brasilia, atau Amerika Serikat dari New York ke
Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin.
Karena jauh akhirnya pada pindah rumah. Kalau dekat, misalnya di Jonggol atau Sentul, niscaya orang Tangerang, Bogor, Jakarta, Bekasi, Depok tetap tinggal di rumahnya dan berkantor di ibukota baru.
Jalan jauh dan kemacetan pun terus berlangsung.

Pemindahan Ibukota Negara Indonesia dari Jakarta Pertama-tama kita harus sadar bahwa pemindahan ibukota dari satu kota ke kota lain adalah hal yang biasa dan pernah
dilakukan. Sebagai contoh, Amerika Serikat
pernah memindahkan
ibukota mereka dari New York ke Washington DC,
Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Australia dari Sidney ke Canberra, Jerman dari Bonn ke Berlin, sementara Brazil memindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Indonesia sendiri pernah memindahkan
ibukotanya dari Jakarta ke Yogyakarta.

Over Populasi (Jumlah penduduk melebihi daya
tampung) merupakan
penyebab utama kenapa banyak negara memindahkan ibukotanya.
Sebagai contoh saat ini Jepang dan Korea Selatan tengah merencanakan
pemindahan ibukota negara mereka. Jepang
ingin memindahkan
ibukotanya karena wilayah Tokyo Megapolitan jumlah penduduknya sudah terlampau besar yaitu: 33 juta jiwa. Korsel pun begitu karena wilayah
kota Seoul dan sekitarnya jumlah penduduknya sudah mencapai 22 juta.
Bekas ibukota AS, New York dan sekitarnya total penduduknya mencapai 22 juta jiwa. Jakarta sendiri menurut mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, dirancang Belanda untuk menampung 800.000 penduduk. Namun ternyata di saat Ali menjabat Gubernur jumlahnya membengkak
jadi 3,5 juta dan sekarang membengkak lagi hingga daerah Metropolitan Jakarta yang meliputi Jabodetabek mencapai
total 23 juta jiwa.

Jadi pemindahan ibukota bukanlah hal yang tabu
dan sulit. Soeharto sendiri sebelum lengser sempat merencanakan
pemindahan ibukota
Jakarta ke Jonggol.

Kenapa kita harus
memindahkan ibukota dari Jakarta?
Apa tidak repot?
Apa biayanya tidak terlalu besar?
Jawaban dari pertanyaan ini harus benar-benar tepat dan beralasan. Jika tidak, hanya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya.

Pertama kita harus sadar
bahwa ibukota Jakarta di
mana lebih dari 80% uang yang ada di Indonesia beredar di sini merupakan magnet yang menarik penduduk seluruh dari Indonesia untuk mencari uang di Jakarta. Arus urbanisasi dari daerah ke
Jakarta begitu tinggi.
Akibatnya jika penduduk
Jakarta pada zaman Ali
Sadikin tahun 1975-an
hanya sekitar 3,5 juta jiwa, saat ini jumlahnya sekitar 10 juta jiwa. Pada hari kerja dengan pekerja dari wilayah Jabotabek, penduduk Jakarta menjadi 12 juta jiwa.
Jumlah penduduk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi diperkirakan sekitar 23 juta jiwa.
Padahal tahun 1986
jumlahnya hanya sekitar
14,6 juta jiwa (MS Encarta). Jika Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka jumlah ini akan terus membengkak dan membengkak. Akibatnya kemacetan semakin merajalela. Jumlah kendaraan bertambah.
Asap kendaraan dan
polusi meningkat sehingga udara Jakarta sudah tidak layak hirup lagi. Pohon-pohon, lapangan rumput, dan tanah serapan akan
semakin berkurang diganti oleh aspal dan lantai beton perumahan, gedung perkantoran dan pabrik.

Sebagai contoh berbagai
hutan kota atau tanah lapang di kawasan Senayan, Kelapa Gading,
Pulomas, dan sebagainya saat ini sudah menghilang diganti dengan Mall, gedung perkantoran dan
perumahan.


Hal-hal di atas akan mengakibatkan:

1. Jakarta akan jadi kota
yang sangat macet
2. Dengan banyaknya orang bekerja di Jakarta padahal rumah mereka ada di pinggiran Jabotabek, akan
mengakibatkan
pemborosan BBM. Paling
tidak ada sekitar 6,5
milyar liter BBM dengan
nilai sekitar Rp 30 trilyun
yang dihabiskan oleh 2
juta pelaju ke Jakarta
setiap tahun.
3. Dengan kemacetan dan jauhnya jarak perjalanan, orang menghabiskan waktu 3 hingga 5 jam per hari hanya untuk perjalanan kerja.
4. Stress meningkat akibat kemacetan di jalan.
5. Penyakit ISPA (Infeksi
Saluran Pernafasan Atas)
juga meningkat karena
orang berada lama di
jalan dan menghisap asap knalpot kendaraan
6. Banjir dan kekeringan
akan semakin meningkat
karena daerah resapan air terus berkurang.
7. Jumlah penduduk
Indonesia akan terpusat di wilayah Jabodetabek. Saat ini saja sekitar 30 juta dari 200 juta penduduk Indonesia menempati area
1500 km2 di Jabodetabek.
Atau 15% penduduk
menempati kurang dari 1% wilayah Indonesia.
8. Pembangunan akan
semakin tidak merata
karena kegiatan
pemerintahan, bisnis, seni, budaya, industri semua terpusat di Jakarta dan sekitarnya.
9. Tingkat Kejahatan/
Kriminalitas akan
meningkat karena luas
wilayah tidak mampu
menampung penduduk
yang terlampau padat.
10. Timbul bahaya kelaparan karena over populasi dan sawah berubah jadi rumah, kantor, dan pabrik. Saat ini pulau Jawa yang merupakan pulau
terpadat di dunia 7 x lipat lebih padat daripada RRC.
Kepadatan penduduk di
Jawa 1.007 orang/km2
sementara di RRC hanya
138 orang/km2. Tak heran di pulau Jawa banyak orang yang kelaparan dan makan nasi aking.

Untuk itu diperlukan
penyebaran pusat
kegiatan di berbagai kota di Indonesia. Sebagai contoh, di AS pusat pemerintahan ada di Washington DC yang
jumlah penduduknya
hanya 563 ribu jiwa.
Sementara pusat bisnis
ada di New York dengan
populasi 8,1 juta. Pusat
kebudayaan ada di Los
Angeles dengan populasi
3,9 juta. Pusat Industri
otomotif ada di Detroit
dengan jumlah penduduk 911.000 jiwa.
Di AS kegiatan tersebar di beberapa kota. Tidak
tertumpuk di satu kota.
Sehingga pembangunan
bisa lebih merata.
Indonesia juga harus
begitu. Semua kegiatan
jangan terpusat di Jakarta.
Jika tidak, maka jumlah
penduduk kota Jakarta
akan terus membengkak.

Dalam 10-20 tahun, Jakarta akan jadi kota yang mati/semrawut karena jumlah penduduk yang terlampau banyak (saat ini saja kemacetan sudah luar biasa).
Biarlah Jakarta cukup
menjadi pusat bisnis.
Untuk pusat
pemerintahan, sebaiknya
dipindahkan ke
Kalimantan Tengah.

Kenapa Kalimantan Tengah?
Kenapa tidak di
Jawa, Sulawesi, atau Sumatra?

Pertama Jawa adalah pulau kecil yang sudah
terlampau padat
penduduknya. Luas pulau Jawa hanya 134.000 km2 sementara jumlah penduduknya sekitar 135 juta jiwa. Kepadatannya
sudah mencapai lebih dari 1.000 jiwa per km2.
Apalagi pulau Jawa yang
subur dengan persawahan yang sudah mapan seharusnya dipertahankan tetap jadi lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan di Indonesia. Kalau dipaksakan di Jawa, maka luas sawah akan berkurang sebanyak 50.000 hektar! Produksi beras/pangan lain akan berkurang sekitar 200 ribu ton per tahun! Indonesia akan semakin kekurangan
pangan karenanya. Selama ibukota tetap di Jawa, pulau Jawa akan semakin padat dan pembangunan tidak tersebar ke seluruh
Indonesia. Jawa sudah
kebanyakan penduduk/over-crowded!

Ada pun pulau Sumatera
letaknya relatif agak di Barat. Dengan jumlah
penduduk lebih dari 42 juta, pembangunan di
Sumatera sudah cukup
lumayan.
Sulawesi dengan luas 189.000 km2 dan jumlah
penduduk sekitar 15 juta
jiwa masih terlalu kecil
wilayahnya. Sumatera dan Sulawesi adalah pulau yang subur dan cocok untuk pertanian. Jadi sayang jika pertumbuhan jumlah penduduk dipusatkan di situ. Belum lagi kedua wilayah ini rawan dengan gempa bumi dan tsunami.

Ada pun Kalimantan
luasnya 540.000 km2 dengan jumlah penduduk hanya 12 juta jiwa. Pulau Kalimantan jauh lebih luas
dibanding pulau Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi dan jumlah penduduknya justru paling sedikit.

Di pulau Kalimantan juga tidak ada gunung berapi dan merupakan pulau yang teraman dari gempa.
Sementara di pesisir Kalimantan Tengah yang berbatasan dengan Laut Jawa juga ombak relatif tenang dan aman dari Tsunami. Ini cocok untuk jadi tempat ibukota Indonesia yang baru.
Sebaliknya Jakarta begitu dekat dengan gunung Krakatau yang ledakkannya 30 ribu kali bom atom Hiroshima dengan tsunami setinggi 40 meter. Efek ledakan Krakatau terasa sampai Afrika dan Australia.
Sekarang gunung Krakatau yang dulu rata dengan laut telah “tumbuh” setinggi 800 meter lebih dengan kecepatan “tumbuh” sekitar 7 meter/tahun.
Sebagian ahli geologi memperkirakan letusan kembali terulang antara 2015-2083. Jadi Jakarta tinggal “menunggu waktu” saja...




sumber : http://www.lintasberita.com/go/842339

Tidak ada komentar:

Posting Komentar